(: Bukan orang lain yang menentukan hidup kita, tapi kita sendiri yang menentukan hidup kita sendiri.. Tentukan pilihan terbaik untuk hidupmu yang sesuai dengan Dien Al-Islam.. :)

Kamis, 27 September 2012

Umar bin Abdul Aziz

Biografi

Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Al-Hakam bin Abu Al-Ash bin Umayyah bin Abd Syams bin Manaf lahir pada tahun 63 H / Februari, 682 M. Ayahnya bernama Abdul Aziz bin Marwan, pernah menjabat sebagai gubernur Mesir dan merupakan adik dari Khalifah Abdul Malik. Ibunya bernama Laila binti Ashim bin Umar bin Khaththab. Umar bin Abdul Aziz mempunyai gelar Umar II karena masih satu nasab dengan Khulafaur Rasyidin keempat, yaitu Umar bin Khaththab dan sewaktu menajdi khalifah, kepemimpinannya seperti 4 Khulafaur Rasyidin, sehingga dia pernah dijuluki Khulafaur Rasyidin ke-5. Gelar lainnya adalah Abu Hafs, nasabnya A-Qurasyi Al-Umawi.

Istri pertamanya adalah wanita yang salehah dari kalangan kerajaan Bani Umayah, ia merupakan putri dari Khalifah Abdul Malik bin Marwan yaitu Fatimah binti Abdul Malik. Ia memiliki nasab yang mulia; putri khalifah, kakeknya juga khalifah, saudara perempuan dari para khalifah, dan istri dari khalifah yang mulia Umar bin Abdul Aziz, namun hidupnya sederhana. Istrinya yang lain adalah Lamis binti Ali, Ummu Utsman bin Syu’aib, dan Ummu Walad. Umar bin Abdul Aziz mempunyai empat belas anak laki-laki, di antara mereka adalah Abdul Malik, Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Bakar, Al-Walid, Musa, Ashim, Yazid, Zaban, Abdullah, serta tiga anak perempuan, Aminah, Ummu Ammar dan Ummu Abdillah.

Umar bin Abdul Aziz mempunyai ciri-ciri fisik yaitu berkulit cokelat, berwajah lembut dan tampan, berperawakan ramping, berjanggut rapi, bermata cekung, dan di keningnya terdapat bekas luka akibat sepakan kaki kuda. Ada pula yang mengatakan, ia berkulit putih, berwajah lembut dan tampan, berperawakan ramping dan berjenggot rapi.

Ada kisah Umar bin Khaththab mengenai kelahiran Umar bin Abdul Aziz. Cerita ini dikisahkan oleh Abdullah bin Zubair bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya yang bernama Aslam. Ia menuturkan, “Suatu malam aku sedang menemani Umar bin Khattab berpatroli di Madinah. Ketika beliau merasa lelah, ketika beliau merasa lelah, beliau bersandar ke dinding di tengah malam, beliau mendengar seorang wanita berkata kepada putrinya, ‘Wahai putriku, campurlah susu itu dengan air.’ Maka putrinya menjawab, ‘Wahai ibunda, apakah engkau tidak mendengar maklumat Amirul Mukminin hari ini?’ Ibunya bertanya, ‘Wahai putriku, apa maklumatnya?’ Putrinya menjawab, ‘Dia memerintahkan petugas untuk mengumumkan, hendaknya susu tidak dicampur dengan air.’ Ibunya berkata, ‘Putriku, lakukan saja, campur susu itu dengan air, kita di tempat yang tidak dilihat oleh Umar dan petugas Umar.’ Maka gadis itu menjawab, ‘Ibu, tidak patut bagiku menaatinya di depan khalayak demikian juga menyelesihinya walaupun di belakang mereka.’ Sementara Umar mendengar semua perbincangan tersebut. Maka dia berkata, ‘Aslam, tandai pintu rumah tersebut dan kenalilah tempat ini.’ Lalu Umar bergegas melanjutkan patrolinya.


Di pagi hari Umar berkata, ‘Aslam, pergilah ke tempat itu, cari tahu siapa wanita yang berkata demikian dan kepada siapa dia mengatakan hal itu. Apakah keduanya mempunyai suami?’ Aku pun berangkat ke tempat itu, ternyata ia adalah seorang gadis yang belum bersuami dan lawan bicaranya adalah ibunya yang juga tidak bersuami. Aku pun pulang dan mengabarkan kepada Umar. Setelah itu, Umar langsung memanggil putra-putranya dan mengumpulkan mereka, Umar berkata, ‘Adakah di antara kalian yang ingin menikah?’ Ashim menjawab, ‘Ayah, aku belum beristri, nikahkanlah aku.’ Maka Umar meminang gadis itu dan menikahkannya dengan Ashim. Dari pernikahan ini lahir seorang putri yang di kemudian hari menjadi ibu bagi Umar bin Abdul Aziz.”

Diriwayatkan bahwa pada suatu malam Umar bin Khattab bermimpi, dia berkata, “Seandainya mimpiku ini termasuk tanda salah seorang dari keturunanku yang akan memenuhinya dengan keadilan (setelah sebelumnya) dipenuhi dengan kezaliman. Abdullah bin Umar mengatakan, “Sesungguhnya keluarga Al-Khattab mengira bahwa Bilal bin Abdullah yang mempunyai tanda di wajahnya.” Mereka mengira bahwa dialah orang yang dimaksud, hingga Allah kemudian menghadirkan Umar bin Abdul Aziz.

Kehidupan Awal

Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Abu Hurairah, salah seorang periwayat hadis terbanyak. Ia tinggal di sana sampai kematiannya ayahnya, dimana kemudian ia dipanggil ke Damaskus oleh Abdul-Malik dan menikah dengan anak perempuannya Fatimah. Ayah mertuanya kemudian segera meninggal dan ia diangkat pada tahun 706 sebagai gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid I.

Tidak seperti sebagaian besar penguasa pada saat itu, Umar membentuk sebuah dewan yang kemudian bersama-sama dengannya menjalankan pemerintahan provinsi. Masa di Madinah itu menjadi masa yang jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dimana keluhan-keluhan resmi ke Damaskus berkurang dan dapat diselesaikan di Madinah, sebagai tambahan banyak orang yang berimigrasi ke Madinah dari Iraq, mencari perlindungan dari gubernur mereka yang kejam, Al-Hajjaj bin Yusuf. Hal tersebut menyebabkan kemarahan Al-Hajjaj, dan ia menekan al-Walid I untuk memberhentikan Umar. al-Walid I tunduk kepada tekanan Al-Hajjaj dan memberhentikan Umar dari jabatannya. Tetapi sejak itu, Umar sudah memiliki reputasi yang tinggi di Kekhalifahan Islam pada masa itu.

Pada era Al-Walid I ini juga tercatat tentang keputusan khalifah yang kontroversial untuk memperluas area di sekitar masjid Nabawi sehingga rumah Rasulullah ikut direnovasi. Umar membacakan keputusan ini di depan penduduk Madinah termasuk ulama mereka, Said Al Musayyib sehingga banyak dari mereka yang mencucurkan air mata. Berkata Said Al Musayyib: "Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya tata cara hidup beliau yang sederhana"

Umar tetap tinggal di Madinah selama masa sisa pemerintahan al-Walid I dan kemudian dilanjutkan oleh saudara al-Walid, Sulaiman. Sulaiman, yang juga merupakan sepupu Umar selalu mengagumi Umar, dan menolak untuk menunjuk saudara kandung dan anaknya sendiri pada saat pemilihan khalifah dan menunjuk Umar.


Sulaiman bin Abdul-Malik merupakan sepupu langsung dengan Umar. Mereka berdua sangat erat dan selalu bersama. Pada masa pemerintahan Sulaiman bin Abdul-Malik, dunia dinaungi pemerintahan Islam. Kekuasaan Bani Umayyah sangat kukuh dan stabil.


Suatu hari, Sulaiman mengajak Umar ke markas pasukan Bani Umayyah. Sulaiman bertanya kepada Umar "Apakah yang kau lihat wahai Umar bin Abdul-Aziz?" dengan niat agar dapat membakar semangat Umar ketika melihat kekuatan pasukan yang telah dilatih. Namun jawab Umar, "Aku sedang lihat dunia itu sedang makan antara satu dengan yang lain, dan engkau adalah orang yang paling bertanggung jawab dan akan ditanyakan oleh Allah mengenainya". Khalifah Sulaiman berkata lagi "Engkau tidak kagumkah dengan kehebatan pemerintahan kita ini?" Balas Umar lagi, "Bahkan yang paling hebat dan mengagumkan adalah orang yang mengenali Allah kemudian mendurhakai-Nya, mengenali setan kemudian mengikutinya, mengenali dunia kemudian condong kepada dunia". Jika Khalifah Sulaiman adalah pemimpin biasa, sudah barang tentu akan marah dengan kata-kata Umar bin Abdul-Aziz, namun beliau menerima dengan hati terbuka bahkan kagum dengan kata-kata itu.

Menjelang wafatnya Sulaiman, penasihat kerajaan bernama Raja’ bin Haiwah menasihati beliau, "Wahai Amirul Mukminin, antara perkara yang menyebabkan engkau dijaga di dalam kubur dan menerima syafaat dari Allah di akhirat kelak adalah apabila engkau tinggalkan untuk orang Islam khalifah yang adil, maka siapakah pilihanmu?". Jawab Khalifah Sulaiman, "Aku melihat Umar bin Abdul Aziz".
Surat wasiat diarahkan supaya ditulis nama Umar bin Abdul-Aziz sebagai penerus kekhalifahan, tetapi dirahasiakan darai kalangan menteri dan keluarga. Sebelum wafatnya Sulaiman, beliau memerintahkan agar para menteri dan para gubernur berbai’ah dengan nama bakal khalifah yang tercantum dalam surat wasiat tersebut.

Menjadi Khalifah

Seluruh umat Islam berkumpul di dalam masjid dalam keadaan bertanya-tanya, siapa khalifah mereka yang baru. Raja’ Ibn Haiwah mengumumkan, "Bangunlah wahai Umar bin Abdul-Aziz, sesungguhnya nama engkaulah yang tertulis dalam surat ini".

Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada dileher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki". Umat tetap menghendaki Umar sebagai khalifah dan Umar menerima dengan hati yang berat, hati yang takut kepada Allah dan tangisan. Segala keistimewaan sebagai khalifah ditolak dan Umar pulang ke rumah.

Ketika pulang ke rumah, Umar berfikir tentang tugas baru untuk memerintah seluruh daerah Islam yang luas dalam kelelahan setelah mengurus jenazah Khalifah Sulaiman bin Abdul-Malik. Ia berniat untuk tidur. Pada saat itulah anaknya yang berusia 15 tahun, Abdul-Malik masuk melihat ayahnya dan berkata, "Apakah yang sedang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?". Umar menjawab, "Wahai anakku, ayahmu letih mengurusi jenazah bapak saudaramu dan ayahmu tidak pernah merasakan keletihan seperti ini". "Jadi apa engkau akan buat wahai ayah?", Tanya anaknya ingin tahu. Umar membalas, "Ayah akan tidur sebentar hingga masuk waktu zuhur, kemudian ayah akan keluar untuk salat bersama rakyat". Apa pula kata anaknya apabila mengetahui ayahnya Amirul Mukminin yang baru “Ayah, siapa pula yang menjamin ayah masih hidup sehingga waktu zuhur nanti sedangkan sekarang adalah tanggungjawab Amirul Mukminin mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi” Umar ibn Abdul Aziz terus terbangun dan membatalkan niat untuk tidur, beliau memanggil anaknya mendekati beliau, mengucup kedua belah mata anaknya sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang mengeluarkan dari keturunanku, orang yang menolong aku di atas agamaku.

Hari kedua dilantik menjadi khalifah, beliau menyampaikan khutbah umum. Dihujung khutbahnya, beliau berkata “Wahai manusia, tiada nabi selepas Muhammad saw dan tiada kitab selepas al-Quran, aku bukan penentu hukum malah aku pelaksana hukum Allah, aku bukan ahli bid’ah malah aku seorang yang mengikut sunnah, aku bukan orang yang paling baik dikalangan kamu sedangkan aku cuma orang yang paling berat tanggungannya dikalangan kamu, aku mengucapkan ucapan ini sedangkan aku tahu aku adalah orang yang paling banyak dosa di sisi Allah” Beliau kemudian duduk dan menangis "Alangkah besarnya ujian Allah kepadaku" sambung Umar bin Abdul Aziz.

Beliau pulang ke rumah dan menangis sehingga ditegur isteri “Apa yang Amirul Mukminin tangiskan?” Beliau mejawab “Wahai isteriku, aku telah diuji oleh Allah dengan jawatan ini dan aku sedang teringat kepada orang-orang yang miskin, ibu-ibu yang janda, anaknya ramai, rezekinya sedikit, aku teringat orang-orang dalam tawanan, para fuqara’ kaum muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan mendakwaku di akhirat kelak dan aku bimbang aku tidak dapat jawab hujah-hujah mereka sebagai khalifah kerana aku tahu, yang menjadi pembela di pihak mereka adalah Rasulullah saw’’ Isterinya juga turut mengalir air mata.

Umar bin Abdul Aziz mula memeritah pada usia 36 tahun sepanjang tempoh 2 tahun 5 bulan 5 hari. Pemerintahan beliau sangat menakjubkan. Pada waktu inilah dikatakan tiada siapa pun umat Islam yang layak menerima zakat sehingga harta zakat yang menggunung itu terpaksa diiklankan kepada sesiapa yang tiada pembiayaan untuk bernikah dan juga hal-hal lain.

Kisah Teladan I

Suatu hari Umar bin Abdul Aziz menyewa seekor unta dari seorang pemilik unta untuk perjalanan ke luar kota. Di tengah perjalanan yang kanan dan kirinya penuh dengan pepohonan, tiba-tiba serban Umar tersangkut pohon dan jatuh ke tanah. Setelah satu kilometer, Umar baru diberi tahu bahwa serbannya terseret pohon. Lalu, Umar turun dari unta dan berjalan mengambil serbannya.

“Wahai Amirul Mukminin mengapa engkau mengambil sendiri serban itu? Bukankah kita bisa mengambilnya dengan mengendarai unta,” tanya sang pemilik unta kepada Umar terheran-heran. “Tidak, saya menyewa unta hanya untuk pergi bukan untuk kembali,” ujar Umar. “Mengapa engkau tidak menyuruhku mengambilnya,” tanya pemilik unta penasaran. “Tidak juga, karena serban itu bukan milikmu, tapi milikku,” ujarnya dengan mantap.

Kisah di atas menggambarkan keteladanan seorang pemimpin yang patut ditiru dalam memanfaatkan kedudukannya. Meski Umar berkedudukan sebagai khalifah, ia tidak ingin seenaknya memerintah atau memperlakukan rakyatnya tanpa kendali. Baginya, kedudukan bukanlah sekat atau struktur egoisme atau kesombongan, tapi menjadi jembatan untuk memberikan jalan terbaik bagi rakyatnya.

Umar juga tak pernah melampaui batas dalam menggunakan barang milik rakyat ketika dia harus menyewanya. Pendek kata, Umar Abdul Aziz adalah sosok pemimpin lurus (adil) yang tidak semaunya menggunakan tenaga kaum lemah. Ia tidak duduk terlena di atas tahta singgasana.

Umar Abdul Aziz adalah pemimpin yang sangat cepat mencairkan kebekuan rakyat dengan jalan arif dan memudahkan. Pangkat dan kedudukannya tidak menjadikannya jadi penghalang untuk turun ke lapangan guna membantu dan menyelesaikan segala kesulitan yang dihadapi rakyat. “Permudahlah urusan umat manusia dan jangnlah kalian persulit,” sabda Nabi SAW.

Kisah Teladan II

Diriwayatkan dari Mughirah bin Hakim beliau berkata, "Fathimah binti Abdul Malik isteri Umar bin Abdul Aziz menuturkan kepadaku, 'Wahai Mughirah, Dialah orang yang paling banyak shalat dan puasanya dibanding manusia lain. Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih takut di hadapan Allah selain Umar. Jika telah selesai shalat Isya’ ia duduk di Masjid sambil mengangkat kedua tangannya seraya menangis hingga matanya mengantuk. Sebentar kemudian ia kembali terbangun, lalu berdoa dengan mengangkat kedua tangannya serta menangis sampai mengantuk lagi'."

Sementara itu an-Nadhar bin Arabi berkata, "Ketika aku berkunjung ke tempat Umar bin Abdul Aziz ia selalu menggigil, seakan-akan seluruh duka manusia menimpa pada dirinya."

Diriwayatkan dari Ibrahim bin Ubaid bin Rifa’ah dia berkata, "Aku menyaksikan Umar bin Abdul Aziz dan Muhammad bin Qais sedang bercakap-cakap. Tiba-tiba aku melihat Umar menangis sampai tulang rusuknya berdetak."

Bahwasanya Umar bin Abdul Aziz rahimahullah tidak pernah kering air matanya karena bunyi syair berikut ini"Tidak ada kebaikan dalam hidup seseorang yang tidak bernasib baik di sisi Allah, kelak di hari penentuan."

WAFATNYA UMAR II

Umar bin Abdul-Aziz wafat disebabkan oleh sakit akibat diracun oleh pembantunya. Umat Islam datang berziarah melihat kedhaifan hidup khalifah sehingga ditegur oleh menteri kepada isterinya, "Gantilah baju khalifah itu", dibalas isterinya, "Itu saja pakaian yang khalifah miliki".

Apabila beliau ditanya “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau mau mewasiatkan sesuatu kepada anak-anakmu?” Umar Abdul Aziz menjawab: "Apa yang ingin kuwasiatkan? Aku tidak memiliki apa-apa." "Mengapa engkau tinggalkan anak-anakmu dalam keadaan tidak memiliki?" "Jika anak-anakku orang soleh, Allah lah yang menguruskan orang-orang soleh. Jika mereka orang-orang yang tidak soleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah lalu menggunakan hartaku untuk mendurhakai Allah"

Pada waktu lain, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya dan berkata: "Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, pertama : menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, kedua: kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga (kerana tidak menggunakan uang rakyat). Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga." (beliau tidak berkata : aku telah memilih kamu susah).

Anak-anaknya ditinggalkan tidak berharta dibandingkan anak-anak gubernur lain yang kaya. Setelah kejatuhan Bani Umayyah dan masa-masa setelahnya, keturunan Umar bin Abdul-Aziz adalah golongan yang kaya berkat doa dan tawakkal Umar bin Abdul-Aziz.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar