Biografi
Read more>>
Umar bin Abdul
Aziz bin Marwan bin Al-Hakam bin Abu Al-Ash bin Umayyah bin Abd Syams
bin Manaf lahir pada tahun 63 H / Februari, 682 M. Ayahnya bernama Abdul Aziz
bin Marwan, pernah menjabat sebagai gubernur Mesir dan merupakan adik dari
Khalifah Abdul Malik. Ibunya bernama Laila binti Ashim bin Umar bin Khaththab.
Umar bin Abdul Aziz mempunyai gelar Umar II karena masih satu nasab dengan
Khulafaur Rasyidin keempat, yaitu Umar bin Khaththab dan sewaktu menajdi
khalifah, kepemimpinannya seperti 4 Khulafaur Rasyidin, sehingga dia pernah
dijuluki Khulafaur Rasyidin ke-5. Gelar lainnya adalah Abu Hafs, nasabnya
A-Qurasyi Al-Umawi.
Istri pertamanya adalah wanita yang salehah dari kalangan kerajaan
Bani Umayah, ia merupakan putri dari Khalifah Abdul Malik bin Marwan yaitu
Fatimah binti Abdul Malik. Ia memiliki nasab yang mulia; putri khalifah,
kakeknya juga khalifah, saudara perempuan dari para khalifah, dan istri dari
khalifah yang mulia Umar bin Abdul Aziz, namun hidupnya sederhana. Istrinya
yang lain adalah Lamis binti Ali, Ummu Utsman bin Syu’aib, dan Ummu Walad. Umar
bin Abdul Aziz mempunyai empat belas anak laki-laki, di antara mereka adalah
Abdul Malik, Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Bakar, Al-Walid,
Musa, Ashim, Yazid, Zaban, Abdullah, serta tiga anak perempuan, Aminah, Ummu
Ammar dan Ummu Abdillah.
Umar bin Abdul Aziz mempunyai ciri-ciri fisik yaitu berkulit
cokelat, berwajah lembut dan tampan, berperawakan ramping, berjanggut rapi,
bermata cekung, dan di keningnya terdapat bekas luka akibat sepakan kaki kuda.
Ada pula yang mengatakan, ia berkulit putih, berwajah lembut dan tampan,
berperawakan ramping dan berjenggot rapi.
Ada kisah Umar bin Khaththab mengenai kelahiran Umar bin Abdul Aziz. Cerita ini
dikisahkan oleh Abdullah bin Zubair bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya yang
bernama Aslam. Ia menuturkan, “Suatu malam aku sedang menemani Umar bin Khattab
berpatroli di Madinah. Ketika beliau merasa lelah, ketika beliau merasa lelah,
beliau bersandar ke dinding di tengah malam, beliau mendengar seorang wanita
berkata kepada putrinya, ‘Wahai putriku, campurlah susu itu dengan air.’ Maka
putrinya menjawab, ‘Wahai ibunda, apakah engkau tidak mendengar maklumat Amirul
Mukminin hari ini?’ Ibunya bertanya, ‘Wahai putriku, apa maklumatnya?’ Putrinya
menjawab, ‘Dia memerintahkan petugas untuk mengumumkan, hendaknya susu tidak
dicampur dengan air.’ Ibunya berkata, ‘Putriku, lakukan saja, campur susu itu
dengan air, kita di tempat yang tidak dilihat oleh Umar dan petugas Umar.’ Maka
gadis itu menjawab, ‘Ibu, tidak patut bagiku menaatinya di depan khalayak
demikian juga menyelesihinya walaupun di belakang mereka.’ Sementara Umar
mendengar semua perbincangan tersebut. Maka dia berkata, ‘Aslam, tandai pintu
rumah tersebut dan kenalilah tempat ini.’ Lalu Umar bergegas melanjutkan
patrolinya.
Di pagi hari Umar berkata, ‘Aslam,
pergilah ke tempat itu, cari tahu siapa wanita yang berkata demikian dan kepada
siapa dia mengatakan hal itu. Apakah keduanya mempunyai suami?’ Aku pun
berangkat ke tempat itu, ternyata ia adalah seorang gadis yang belum bersuami
dan lawan bicaranya adalah ibunya yang juga tidak bersuami. Aku pun pulang dan
mengabarkan kepada Umar. Setelah itu, Umar langsung memanggil putra-putranya
dan mengumpulkan mereka, Umar berkata, ‘Adakah di antara kalian yang ingin
menikah?’ Ashim menjawab, ‘Ayah, aku belum beristri, nikahkanlah aku.’ Maka
Umar meminang gadis itu dan menikahkannya dengan Ashim. Dari pernikahan ini
lahir seorang putri yang di kemudian hari menjadi ibu bagi Umar bin Abdul
Aziz.”
Diriwayatkan bahwa pada suatu malam Umar bin
Khattab bermimpi, dia berkata, “Seandainya mimpiku ini termasuk tanda salah
seorang dari keturunanku yang akan memenuhinya dengan keadilan (setelah
sebelumnya) dipenuhi dengan kezaliman. Abdullah bin Umar mengatakan,
“Sesungguhnya keluarga Al-Khattab mengira bahwa Bilal bin Abdullah yang
mempunyai tanda di wajahnya.” Mereka mengira bahwa dialah orang yang dimaksud,
hingga Allah kemudian menghadirkan Umar bin Abdul Aziz.
Kehidupan Awal
Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Abu Hurairah, salah seorang
periwayat hadis terbanyak. Ia tinggal di sana sampai kematiannya ayahnya, dimana kemudian ia dipanggil ke Damaskus oleh Abdul-Malik dan menikah dengan anak perempuannya Fatimah. Ayah mertuanya kemudian segera meninggal dan ia diangkat pada tahun 706 sebagai gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid I.
Tidak seperti
sebagaian besar penguasa pada saat itu, Umar membentuk sebuah dewan yang
kemudian bersama-sama dengannya menjalankan pemerintahan provinsi. Masa di
Madinah itu menjadi masa yang jauh berbeda dengan pemerintahan
sebelumnya, dimana keluhan-keluhan resmi
ke Damaskus berkurang dan dapat diselesaikan di Madinah, sebagai tambahan banyak orang yang berimigrasi ke Madinah dari Iraq, mencari perlindungan dari gubernur mereka yang
kejam, Al-Hajjaj bin Yusuf. Hal tersebut menyebabkan kemarahan Al-Hajjaj, dan ia menekan al-Walid I
untuk memberhentikan Umar. al-Walid I tunduk kepada tekanan Al-Hajjaj dan
memberhentikan Umar dari jabatannya. Tetapi sejak itu, Umar sudah memiliki
reputasi yang tinggi di Kekhalifahan Islam pada masa itu.
Pada era
Al-Walid I ini juga tercatat tentang keputusan khalifah yang kontroversial untuk
memperluas area di sekitar masjid Nabawi sehingga rumah Rasulullah ikut
direnovasi. Umar membacakan keputusan ini di depan penduduk Madinah termasuk
ulama mereka, Said Al Musayyib sehingga banyak dari mereka yang mencucurkan air mata. Berkata Said
Al Musayyib: "Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan
seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui
bagaimana sesungguhnya tata cara hidup beliau yang sederhana"
Umar tetap tinggal di Madinah selama masa sisa pemerintahan al-Walid I dan kemudian dilanjutkan
oleh saudara al-Walid, Sulaiman. Sulaiman, yang juga merupakan sepupu Umar selalu mengagumi Umar, dan menolak
untuk menunjuk saudara kandung dan anaknya sendiri pada saat pemilihan khalifah
dan menunjuk Umar.
Sulaiman bin Abdul-Malik merupakan sepupu langsung dengan Umar. Mereka berdua sangat erat dan
selalu bersama. Pada masa pemerintahan Sulaiman bin Abdul-Malik, dunia dinaungi pemerintahan Islam. Kekuasaan Bani Umayyah sangat kukuh dan stabil.
Suatu hari,
Sulaiman mengajak Umar ke markas pasukan Bani Umayyah. Sulaiman bertanya kepada Umar "Apakah yang kau lihat wahai Umar bin
Abdul-Aziz?" dengan niat agar dapat membakar semangat Umar ketika
melihat kekuatan pasukan yang telah dilatih. Namun jawab Umar, "Aku sedang lihat dunia itu
sedang makan antara satu dengan yang lain, dan engkau adalah orang yang paling
bertanggung jawab dan akan ditanyakan oleh Allah mengenainya". Khalifah
Sulaiman berkata lagi "Engkau tidak kagumkah dengan kehebatan
pemerintahan kita ini?" Balas Umar lagi, "Bahkan yang paling hebat dan
mengagumkan adalah orang yang mengenali Allah kemudian mendurhakai-Nya,
mengenali setan kemudian mengikutinya, mengenali dunia kemudian condong kepada
dunia". Jika Khalifah Sulaiman adalah pemimpin biasa, sudah
barang tentu akan marah dengan kata-kata Umar bin Abdul-Aziz, namun beliau
menerima dengan hati terbuka bahkan kagum dengan kata-kata itu.
Menjelang
wafatnya Sulaiman, penasihat kerajaan bernama Raja’ bin Haiwah menasihati beliau, "Wahai
Amirul Mukminin, antara perkara yang menyebabkan engkau dijaga di dalam kubur
dan menerima syafaat dari Allah di akhirat kelak adalah apabila engkau
tinggalkan untuk orang Islam khalifah yang adil, maka siapakah pilihanmu?".
Jawab Khalifah Sulaiman, "Aku melihat Umar bin Abdul Aziz".
Surat wasiat
diarahkan supaya ditulis nama Umar bin Abdul-Aziz sebagai penerus kekhalifahan,
tetapi dirahasiakan darai kalangan menteri dan keluarga. Sebelum wafatnya
Sulaiman, beliau memerintahkan agar para menteri dan para gubernur berbai’ah
dengan nama bakal khalifah yang tercantum dalam surat wasiat tersebut.
Menjadi Khalifah
Seluruh umat
Islam berkumpul di dalam masjid dalam keadaan bertanya-tanya, siapa khalifah
mereka yang baru. Raja’ Ibn Haiwah mengumumkan, "Bangunlah wahai Umar
bin Abdul-Aziz, sesungguhnya nama engkaulah yang tertulis dalam surat ini".
Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, "Wahai manusia,
sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku
dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada
dileher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki". Umat tetap
menghendaki Umar sebagai khalifah dan Umar menerima dengan hati yang berat,
hati yang takut kepada Allah dan tangisan. Segala keistimewaan sebagai khalifah
ditolak dan Umar pulang ke rumah.
Ketika pulang
ke rumah, Umar berfikir tentang tugas baru untuk memerintah seluruh daerah
Islam yang luas dalam kelelahan setelah mengurus jenazah Khalifah Sulaiman bin Abdul-Malik. Ia berniat untuk tidur. Pada saat itulah anaknya yang berusia 15
tahun, Abdul-Malik masuk melihat ayahnya dan berkata, "Apakah yang sedang engkau
lakukan wahai Amirul Mukminin?". Umar menjawab, "Wahai anakku,
ayahmu letih mengurusi jenazah bapak saudaramu dan ayahmu tidak pernah
merasakan keletihan seperti ini". "Jadi apa engkau akan buat
wahai ayah?", Tanya anaknya ingin tahu. Umar membalas, "Ayah akan tidur sebentar hingga
masuk waktu zuhur, kemudian ayah akan keluar untuk salat bersama rakyat". Apa pula kata
anaknya apabila mengetahui ayahnya Amirul Mukminin yang baru “Ayah, siapa pula
yang menjamin ayah masih hidup sehingga waktu zuhur nanti sedangkan sekarang
adalah tanggungjawab Amirul Mukminin mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi”
Umar ibn Abdul Aziz terus terbangun dan membatalkan niat untuk tidur, beliau
memanggil anaknya mendekati beliau, mengucup kedua belah mata anaknya sambil
berkata “Segala puji bagi Allah yang mengeluarkan dari keturunanku, orang yang
menolong aku di atas agamaku.”
Hari kedua
dilantik menjadi khalifah, beliau menyampaikan khutbah umum. Dihujung
khutbahnya, beliau berkata “Wahai manusia, tiada nabi selepas Muhammad saw dan
tiada kitab selepas al-Quran, aku bukan penentu
hukum malah aku pelaksana hukum Allah, aku bukan ahli bid’ah malah aku seorang
yang mengikut sunnah, aku bukan orang yang paling baik dikalangan kamu
sedangkan aku cuma orang yang paling berat tanggungannya dikalangan kamu, aku
mengucapkan ucapan ini sedangkan aku tahu aku adalah orang yang paling banyak
dosa di sisi Allah” Beliau kemudian duduk dan menangis "Alangkah besarnya
ujian Allah kepadaku" sambung Umar bin Abdul Aziz.
Beliau pulang
ke rumah dan menangis sehingga ditegur isteri “Apa yang Amirul Mukminin
tangiskan?” Beliau mejawab “Wahai isteriku, aku telah diuji oleh Allah dengan
jawatan ini dan aku sedang teringat kepada orang-orang yang miskin, ibu-ibu
yang janda, anaknya ramai, rezekinya sedikit, aku teringat orang-orang dalam
tawanan, para fuqara’ kaum muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan mendakwaku
di akhirat kelak dan aku bimbang aku tidak dapat jawab hujah-hujah mereka
sebagai khalifah kerana aku tahu, yang menjadi pembela di pihak mereka adalah
Rasulullah saw’’ Isterinya juga turut mengalir air mata.
Umar bin Abdul Aziz mula memeritah pada usia 36 tahun sepanjang tempoh 2 tahun 5
bulan 5 hari. Pemerintahan beliau sangat menakjubkan. Pada waktu inilah
dikatakan tiada siapa pun umat Islam yang layak menerima zakat sehingga harta
zakat yang menggunung itu terpaksa diiklankan kepada sesiapa yang tiada
pembiayaan untuk bernikah dan juga hal-hal lain.
Kisah Teladan I
Suatu hari Umar bin Abdul Aziz menyewa seekor
unta dari seorang pemilik unta untuk perjalanan ke luar kota. Di tengah
perjalanan yang kanan dan kirinya penuh dengan pepohonan, tiba-tiba serban Umar
tersangkut pohon dan jatuh ke tanah. Setelah satu kilometer, Umar baru diberi
tahu bahwa serbannya terseret pohon. Lalu, Umar turun dari unta dan berjalan
mengambil serbannya.
“Wahai Amirul Mukminin mengapa engkau
mengambil sendiri serban itu? Bukankah kita bisa mengambilnya dengan mengendarai
unta,” tanya sang pemilik unta kepada Umar terheran-heran. “Tidak, saya menyewa
unta hanya untuk pergi bukan untuk kembali,” ujar Umar. “Mengapa engkau tidak
menyuruhku mengambilnya,” tanya pemilik unta penasaran. “Tidak juga, karena
serban itu bukan milikmu, tapi milikku,” ujarnya dengan mantap.
Kisah di atas menggambarkan keteladanan
seorang pemimpin yang patut ditiru dalam memanfaatkan kedudukannya. Meski Umar
berkedudukan sebagai khalifah, ia tidak ingin seenaknya memerintah atau
memperlakukan rakyatnya tanpa kendali. Baginya, kedudukan bukanlah sekat atau
struktur egoisme atau kesombongan, tapi menjadi jembatan untuk memberikan jalan
terbaik bagi rakyatnya.
Umar juga tak pernah melampaui batas dalam
menggunakan barang milik rakyat ketika dia harus menyewanya. Pendek kata, Umar
Abdul Aziz adalah sosok pemimpin lurus (adil) yang tidak semaunya menggunakan
tenaga kaum lemah. Ia tidak duduk terlena di atas tahta singgasana.
Umar Abdul Aziz adalah pemimpin yang sangat
cepat mencairkan kebekuan rakyat dengan jalan arif dan memudahkan. Pangkat dan
kedudukannya tidak menjadikannya jadi penghalang untuk turun ke lapangan guna
membantu dan menyelesaikan segala kesulitan yang dihadapi rakyat. “Permudahlah
urusan umat manusia dan jangnlah kalian persulit,” sabda Nabi SAW.
Kisah Teladan II
Diriwayatkan dari Mughirah bin Hakim beliau
berkata, "Fathimah binti Abdul Malik isteri Umar bin Abdul Aziz menuturkan
kepadaku, 'Wahai Mughirah, Dialah orang yang paling banyak shalat dan puasanya
dibanding manusia lain. Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih takut
di hadapan Allah selain Umar. Jika telah selesai shalat Isya’ ia duduk di
Masjid sambil mengangkat kedua tangannya seraya menangis hingga matanya
mengantuk. Sebentar kemudian ia kembali terbangun, lalu berdoa dengan
mengangkat kedua tangannya serta menangis sampai mengantuk lagi'."
Sementara itu an-Nadhar bin Arabi berkata,
"Ketika aku berkunjung ke tempat Umar bin Abdul Aziz ia selalu menggigil,
seakan-akan seluruh duka manusia menimpa pada dirinya."
Diriwayatkan dari Ibrahim bin Ubaid bin
Rifa’ah dia berkata, "Aku menyaksikan Umar bin Abdul Aziz dan Muhammad bin
Qais sedang bercakap-cakap. Tiba-tiba aku melihat Umar menangis sampai tulang
rusuknya berdetak."
Bahwasanya Umar bin Abdul Aziz rahimahullah
tidak pernah kering air matanya karena bunyi syair berikut ini: "Tidak
ada kebaikan dalam hidup seseorang yang
tidak bernasib baik di sisi Allah, kelak di hari penentuan."
WAFATNYA UMAR II
Umar bin
Abdul-Aziz wafat disebabkan oleh sakit akibat diracun oleh pembantunya. Umat
Islam datang berziarah melihat kedhaifan hidup khalifah sehingga ditegur oleh
menteri kepada isterinya, "Gantilah baju khalifah itu",
dibalas isterinya, "Itu saja pakaian yang khalifah miliki".
Apabila beliau
ditanya “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau mau mewasiatkan sesuatu kepada
anak-anakmu?” Umar Abdul Aziz menjawab: "Apa yang ingin kuwasiatkan? Aku tidak
memiliki apa-apa." "Mengapa engkau tinggalkan anak-anakmu dalam
keadaan tidak memiliki?" "Jika anak-anakku orang soleh, Allah lah yang
menguruskan orang-orang soleh. Jika mereka orang-orang yang tidak soleh, aku
tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah lalu
menggunakan hartaku untuk mendurhakai Allah"
Pada waktu
lain, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya dan berkata: "Wahai
anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, pertama :
menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, kedua: kamu miskin
seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga (kerana tidak menggunakan uang
rakyat). Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga." (beliau
tidak berkata : aku telah memilih kamu susah).
Anak-anaknya
ditinggalkan tidak berharta dibandingkan anak-anak gubernur lain yang kaya.
Setelah kejatuhan Bani Umayyah dan masa-masa setelahnya, keturunan Umar bin Abdul-Aziz adalah
golongan yang kaya berkat doa dan tawakkal Umar bin Abdul-Aziz.