(: Bukan orang lain yang menentukan hidup kita, tapi kita sendiri yang menentukan hidup kita sendiri.. Tentukan pilihan terbaik untuk hidupmu yang sesuai dengan Dien Al-Islam.. :)

Minggu, 14 Mei 2017

Indonesia Tetap Harus Waspada Leptospirosis

Leptospirosis adalah suatu penyakit yang bersumber dari binatang (zoonosis) yaitu bakteri Leptospira yang bersifat akut. Penyakit ini bisa menyebabkan kematian seseorang dan sering endemik di tempat-tempat kumuh baik di desa maupun di kota, terutama pada daerah rawan banjir dengan curah hujan yang cukup tinggi. Leptospirosis sering susah terdiagnosis karena sulit dibedakan dari penyakit endemik lain (Amin, 2016; Kemenkes RI, 2015).

Diperkirakan 0,1 hingga 1 per 100.000 orang yang tinggal di daerah subtropis per tahun menderita leptospirosis, meningkat hingga 10 atau lebih per 100.000 orang di daerah tropis. Di Indonesia sendiri diketahui pada tahun 2012 dilaporkan terdapat 239 kasus leptospirosis dengan 29 kasus kematian (Amin, 2016).

Diketahui dari republika.co.id (2017) bahwa kasus leptospirosis di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun ini lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Masalah Kesehatan (P2MK) Dinas Kesehatan DIY, Elvy Effendi, kasus leptospirosis di DIY tahun lalu (2016) ada sebanyak 114 kasus dan total yang meninggal ada enam orang. Jika dibandingkan sekarang, pada bulan Maret lalu diketahui bahwa sudah ada 71 kasus dengan jumlah orang yang meninggal sebanyak 16 orang, yang berarti terjadi peningkatan yang sangat serius untuk kasus leptospirosis di DIY ini. Wilayah bagian DIY yang paling banyak terjadi kasus leptospirosis yaitu di Kabupaten Gunung Kidul yang kebanyakan pasien kasus leptospirosis bekerja sebagai petani.

Bakteri Leptospira, bakteri penyebab penyakit leptospirosis, mampu bertahan hidup selama berhari-hari atau berminggu-minggu pada kondisi hangat, lembap, dan sedikit alkali, terutama di air segar yang tenang atau mengalir lambat dengan suhu sedang di musim panas serta di tanah yang lembap dan air di daerah tropik, terutama di musim hujan. Proses masuknya bakteri ini ke tubuh manusia biasanya terjadi melalui kontak dengan air atau tanah lembap yang terkontaminasi, lalu bakteri akan masuk lewat kulit yang terabrasi (luka) atau membran mukosa intak seperti mata, mulut, nasofaring, atau esofagus.

Menurut Supraptono, Sumiarto, dan Pramono (2011), ada empat hal yang paling mempengaruhi terjadinya kasus leptospirosis. Yang pertama, mengenai pemakaian alat pelindung diri (APD). Banyak dari masyarakat tidak terbiasa memakai alat pelindung diri seperti alas kaki, sarung tangan, dan masker. Di sini, peran pemerintah sangat penting, seperti dengan meningkatkan keterjangkauan masyarakat akan APD baik ketersediaan maupun kemudahan dan daya beli masyarakat. 

Yang kedua adalah kontak dengan daging atau bagian tubuh hewan yang mati. Masyarakat masih kurang kesadaranya terutama dalam membersihkan diri dengan disinfektan seperti detergen setelah melakukan kontak dengan daging dan atau bagian tubuh hewan yang mati. Yang ketiga adalah kontak dengan genangan air. Maka dari itu, Kepala Bidang P2MK Dinas Kesehatan DIY sudah menghimbau supaya masyarakat  terutama petani supaya memakai alas kaki saat di sawah dan mengubur tikus mati jika ada. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kontak manusia dengan faktor-faktor penyebab leptospirosis.

Yang keempat adalah masalah pendidikan rendah. Terlihat dengan jelas bahwa orang dengan pendidikan rendah cenderung akan terkena leptospirosis dibandingan dengan orang yang berpendidikan lebih tinggi. Pendidikan akan sangat mempengaruhi daya terima saat diadakan suatu penyuluhan dan sosialisasi pencegahan dan penanggulangan leptosirosis. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung akan memahami dan mempraktikkan ha-hal yang dia terima dan apa yang dianggap penting.

Maka dari itu, memahami faktor-faktor penyebab seringnya terjadi leptospirosis itu penting karena dari tahun ke tahun, kasus leptospirosis cenderung untuk naik. Dengan memahami faktor-faktor tersebut, diharapkan terjadinya leptospirosis ampu dicegah sehingga jumlah kasusnya bisa menurun.


Sumber:
  • Amin, LZ (2016). Leptospirosis. CDK-243. 43 (8). 576-580
  • Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2015). Leptospirosis: Kenali dan Waspadai
  • Ridarineni, N (2017). Kasus Leptospirosis di DIY Meningkat, 16 Korban Jiwa. Available at http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/03/28/onisgu284-kasus-leptospirosis-di-diy-meningkat-16-korban-jiwa (accessed on Sunday, 14th of May 2017)
  • Supraptono, B, B Sumiarto, D Pramono (2011). Interaksi 13 Faktor Risiko Leptospirosis. Berita Kedokteran Masyarakat. 27 (2). 55-65
Read more>>

Sabtu, 25 Maret 2017

Imunisasi, Bolehkah?


Setahun yang lalu, pernah terdengar isu bahwa imunisasi itu haram. Isu tersebut muncul karena banyak hal. Seperti yang terjadi di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, para orang tua menolak anak-anaknya diimunisasi dengan alasan takut anaknya sakit kemudian meninggal, serta saat itu sedang hangatnya desas-desus bahwa vaksin imunisasi mengandung minyak babi sehingga petinggi agama di darah itu melarang pemakaian imunisasi. Meskipun sudah berkali-kali diedukasi dan diberitahu bahwa vaksin tersebut tidak mengandung minyak babi oleh petugas puskesmas, para orang tua tersebut tetap beranggapan bahwa imunisasi itu dilarang (liputan6.com).

Lain halnya dengan Kampung Ciganggot, Desa Cisaladah, Kecamatan Purwakarta, Kabupaten Purwakarta, pada Agustus tahun lalu, saat diadakan PIN (Pekan Imunisasi Nasional), tidak ada warga yang keluar sama sekali dari rumahnya masing-masing, bahkan sampai ada yang mengunci pintu rumahnya. Ketika petugas menggedor-gedor pintu rumah warga, tidak ada yang keluar.(kompas.com).

Ada juga yang berpendapat bahwa tidak perlu adanya perlakuan imunisasi denga alasan bahwa setiap manusia sudah mempunyai kekebalan tubuh masing-masing, jadi mereka menyangka bahwa tidak ada manfaatnya diimunisasi, lagipula imunisasi juga menyebabkan efek samping seperti panas, gatal-gatal, dan lain-lain.

Imunisasi sendiri adalah suatu cara untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit tertentu (Saka Bakti Husada, Departemen Kesehatan RI, 2013). Sejalan dengan pengertiannya, tujuan imunisasi adalah untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibatpenyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Memang benar, manusia sejak lahir telah dianugerahi kekebalan tubuh sehingga mampu melawan benda asing yang masuk ke dalam tubuhnya dengan sendirinya. Namun, perlu diketahui bahwa kekebalan ini termasuk ke dalam kekebalan pasif yang didapat dari kekebalan (antibodi) dari ibunya saat masih berada dalam kandungan. Sayangnya, kekebalan pasif ini hanya bersifat sementara, sekitar beberapa hari atau beberapa minggu saja, dan belum beroperasi secara sempurna (Mulyani, 2013).

Maka dari itu, diperlukan adanya kekebalan aktif, dan kekebalan ini bersifat selamanya, tidak seperti kekebalan pasif. Untuk memperoleh kekebalan aktif ini ada dua cara, yang pertama diperoleh saat seseorang mengalami sakit karena infeksi dari suatu kuman penyakit (alami) dan yang kedua diperoleh dengan imunisasi (buatan). Lalu, untuk apa diperlukan imunisasi jika dengan cara alami sudah mampu mendapat kekebalan aktif? Imunisasi diberikan untuk meningkatkan kekebalan secara aktif terhadap suatu penyakit tertentu, sehingga jika kelak ketika seseorang terpapar suatu penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan (Saka Bakti Husada, Departemen Kesehatan RI, 2013). Maka, tanpa imunisasi, apabila seseorang terkena penyakit tertentu, risiko seseorang dalam penyakit tersebut lebih berat dan mungkin saja menyebabkan kematian.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah mengeluarkan fatwa mengenai hukum imunisai yangtertuang dalam Fatwa nomor 4 tahun 2016. Dalam fatwa tersebut, imunisasi pada dasarnya diperbolehkan sebagai bentuk usaha mewujudkan kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya suatu penyakit. Vaksin yang dipakai untuk imunisasi haruslah yang halal dan suci. Apabila vaksin mengandung bahan yang haram dan najis maka hurumnya jadi haram, kecuali dalam kondisis darurat, belum ditemukan adanya vaksin maupun bahan vaksin yang halal dan suci, dan adanya keterangan dari tenaga medis yang kompeten. Imunisasi menjadi wajib dilakukan apabila seseorang tersebut jika tidak diimunisasi dapat menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa. Sebaliknya, imunisasi tidak boleh dilakukakn apabila dapat menimbulkan efek yang berbahaya menurut pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa imunisasi adalah hal yang penting untuk dilakukan. Para ahli tenaga medis telah melakukan kajian yang panjang untuk membuat suatu vaksin yang bermanfaat dan tidak membahayakan. Sehingga, hendaknya mulai sekarang masyarakt membiasakan untuk selalu berpartisipasi pada program imunisasi yang telah diadakan puskesmas setempat. Dimulai dari diri sendiri, kemudian saling mengingatkan satu sama lain mengenai pentingnya imunisasi. Maka dari itu, diharapkan akan terwujud Indonesia rajin imunisasi sehingga meningkatkan tingkat kesehatan rakyat Indonesia.



Sumber:
http://regional.liputan6.com/read/2457184/warga-desa-ini-anggap-imunisasi-polio-haram-dan-membahayakan (diakses pada Sabtu, 24 Maret 2017 pukul 22.31 WIB)
http://regional.kompas.com/read/2016/09/15/12592461/ada.anggapan.imunisasi.haram.satu.kampung.di.purwakarta.tolak.imunisasi (diakses pada Sabtu, 24 Maret 2017 pukul 22.44 WIB)
https://www.dream.co.id/news/fatwa-mui-imunisasi-haram-jika-1603104.html (diakses pada Sabtu, 25 Maret 2017 pukul 09.22 WIB)
Saka Bakti Husada (2013). Krida Pengendalian Penyakit. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Mulyani (2013). Sistem Imun. Sekolah Tinggi Farmasi Bandung
Read more>>